Para Pimpinan Serikat Pekerja di Sumut Tolak Tutup TPL: 50.000 Pekerja dan Keluarga Terancam Melarat!

Gravatar Image

Para pimpinan serikat pekerja di Sumut menolak penutupan TPL, Selasa (10/6/2025). (infrasumut/bps)

InfraSumut.com – Medan. Para unsur pimpinan serikat pekerja dan buruh di Provinsi Sumatera Utara menolak penutupan PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang berpusat di Kabupaten Toba, Sumut.

Pernyataan para pimpinan serikat pekerja tersebut juga sekaligus menolak seruan Ompui Ephorus HKBP Pdt Dr Victor Tinambunan MST untuk menutup TPL.

Read More

Mereka menilai penutupan TPL akan berdampak serius terhadap mundurnya perekonomian Sumut, khususnya kepada ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya di TPL.

Penolakan tutup TPL tersebut disampaikan sejumlah pimpinan buruh Sumut, di antaranya Ketua DPD Serikat Pekerja Nasional (SPN) Sumut Anggiat Pasaribu, di Medan, Selasa (10/6/2025).

Ikut juga Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) 92 Sumut Pahala Napitupulu, Ketua Koordinator F.Hukatan Sumut Tohonan Tampubolon, Sekretaris Korwil KSBSI Sumut Paraduan Pakpahan. Hadir juga Fatiwanolo Zega SH, Mince Simatupang dan Suriono.

“Tetap beroperasinya TPL bertujuan untuk mencegah bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan bagi warga se-Tapanuli Raya, yang seharusnya dapat bertambah lapangan kerjanya,” tegas Anggiat.

Anggiat Pasaribu menyatakan bahwa pandangan Ephorus yang menyebut PT TPL sangat merugikan masyarakat Tapanuli Raya dan meminta penutupannya adalah tidak rasional.

Ia mencontohkan saat ini ada total 9.000 pekerja di TPL. Jika satu pekerja menanggung lima anggota keluarga, maka hampir 50.000 pekerja dan anggota keluarga yang hidupnya terancam melarat.

Karena itu, ia menilai penutupan TPL akan membawa gejolak sosial yang serius di Sumut. “Khusus anggota SPN yang bekerja di TPL ada 250 orang, mereka akan kehilangan pekerjaan untuk menghidupi keluarganya jika TPL ditutup,” ungkap Anggiat.

Hal senada juga disampaikan Ketua SBSI 92 Sumut Pahala Napitupulu. Menurutnya penutupan TPL tidaklah solusi di tengah upaya berbagai pihak untuk menghadirkan lapangan kerja bagi masyarakat.

Menurut Pahala, penutupan TPL hanya akan menyisakan persoalan serius bagi pekerja dan keluarga. Andaikan TPL dituding melakukan pengrusakan lingkungan, maka permasalahan lingkungan yang diselesaikan. “Bukan serta merta perusahaan yang ditutup, masalahnya yang diselesaikan,” tegas Pahala.

Ia juga menyayangkan sikap berbagai pihak, termasuk oknum aktivis lingkungan, yang menurutnya sibuk menggoreng-goreng isu lingkungan, sementara tidak dilengkapi data valid.

Lebih lanjut Pahala menganjurkan agar Ephorus HKBP membuka ruang dialog dengan manajemen TPL dan serikat buruh untuk meng-clearkan persoalan. Sehingga ada kepastian bagi semua pihak.

“Amang Ephorus yang kami hargai, warga HKBP banyak sekali di sana. Mungkin saja bapak terima data yang salah. Mari kita dudukkan permasalahan ini agar tidak menjadikan persoalan yang dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu,” ujar Pahala.

Sementara itu Sekretaris KSBSI Sumut Paraduan Pakpahan menambahkan sangat menyayangkan munculnya seruan tutup TPL.

“Apalagi sekarang pemerintah serius untuk tenaga kerja. Ada dibentuk Satgas PHK. Artinya jika TPL tutup, maka akan sangat banyak terjadi PHK. Dan ini jelas tidak kita inginkan,” sebutnya.

Begitu pun, para pimpinan serikat buruh ikut menyikapi danya kekurangan dan kelemahan TPL terkait kelestarian lingkungan dan konflik sosial atas sengketa lahan dengan masyarakat.

Namun, mereka berpendapat bahwa persoalan ini harus diselesaikan secara arif dan bijaksana demi menjaga kelestarian alam dan lingkungan hidup. “Sekali lagi bawah bukan TPL yang ditutup,” tegas Pahala.

Desak Bertanggung Jawa
Selain itu, Ketua SPN Anggiat Pasaribu mengatakan bahwa menurut informasi, lahan yang diberikan negara ke TPL seluas 167.912 hektar dan batas wilayah tidak konkret.

Hal inilah yang memicu konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan TPL. Karena itu, kata Anggiat, bahwa SPN mendesak agar negara bertanggung jawab terhadap batas wilayah yang diberikan kepada perusahaan.

Pasalnya, hingga saat ini, TPL baru bisa menanami lahan seluas 57.333 hektar, yang disinyalir menjadi pemicu konflik akibat ketidaksesuaian lahan yang diberikan dengan realitas di lapangan.

“Negara juga harus merevisi lahan yang diberikan/dikontrak perusahaan agar sesuai dengan kenyataan di lapangan, agar tidak terjadi lagi konflik antara masyarakat dan perusahaan,” tegas Anggiat. (bps)

Related posts