Oleh: Akhmad Khambali*
DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersahaja memiliki makna sederhana dan tidak berlebih-lebihan. Pemimpin yang bersahaja adalah ia yang menghiasi dirinya dengan kesederhanaan. Ya sederhana dalam berfikir, sederhana dalam bersikap, dan sederhana dalam berpenampilan.
Sekilas, pernyataan tersebut akan menimbulkan pemahaman bahwa pemimpin sederhana adalah pemimpin yang biasa-biasa saja. Padahal jika dipahami lebih lanjut, maknanya sungguh dalam dan masih sangat relevan dengan zaman sekarang.
Sederhana dalam berfikir artinya memiliki visi dan misi yang tidak melangit. Pemikirannya seimbang antara konsep ideal dengan realitas yang ada dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat.
Sederhana dalam bersikap artinya ketika mengambil keputusan tidak bersifat otoriter apalagi memberatkan rakyatnya. Selain itu, tidak bertindak semaunya sendiri, melainkan menyerap aspirasi dari pihak-pihak terkait.
Sederhana dalam menjalani kehidupan ialah berusaha untuk berpenampilan sederhana. Dalam pemenuhan kebutuhan, tidak mengikuti gengsi melainkan fungsi dari suatu benda. Jika gaya hidup seorang pemimpin glamour, maka hal tersebut dapat menciderai hati dan kebutuhan sosial rakyatnya. Alih-alih meniru perangai, justru fokus rakyat beralih terhadap gaya hidup yang sangat senjang tersebut.
Setiap orang adalah pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri. Oleh sebab itu, sifat-sifat pemimpin harus melekat pada diri setiap individu.
Terlebih untuk saat ini kontestasi politik segera berlangsung. Rakyat harus benar-benar selektif memilih calon pemimpinya, calon Gubernurnya dan lain-lain.
Prinsip kesederhanaan mampu menjadi salah satu indikator dalam menentukan siapa calon pemimpin yang akan dipilih. Mengapa demikian? Berdasarkan data dari situs resmi kpk.go.id sejak tahun 2004 hingga 3 Januari 2022 tidak kurang dari 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah ditindak oleh KPK.
Modus mereka masih umum seperti korupsi dari proyek pengadaan barang dan jasa, suap untuk menerbitkan izin, dan jual beli jabatan. Umumnya praktik korupsi dilatarbelakangi oleh pemenuhan gaya hidup yang semakin meningkat.
Bener, Kober, dan Pinter
Belum lama ini saya berdiskusi dengan salah satu Ulama Khos tentang kriteria pemimpin dan kepemimpinan. Ulama Khos saya mengatakan bahwa dalam falsafah Jawa, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang bener (benar), kober (siap sedia untuk meluangkan waktu), dan pinter (pintar). Kata pintar sengaja diletakkan di paling akhir, karena pintar bukanlah jaminan untuk menentukan baik buruknya seseorang.
Bener menjadi pondasi bagi seorang pemimpin untuk berfikir dan bertindak. Banyak orang pintar namun tidak benar, maka tidak sedikit dari mereka berbuat kerusakan atas amanat yang ditanggungnya. Artinya ilmu tersebut hanya menjadi hiasan semata, bukan menjadi alat untuk bersikap maupun bertindak baik.
Istilah kober menunjukkan bahwa pemimpin harus mampu mengedepankan kepentingan rakyat. Artinya, sesibuk apapun pemimpin maka akan tetap mendahulukan hak-hak dan kepentingan rakyat.
Bahkan saya pernah mendengar pernyataan dari seorang pemimpin pemerintahan yang meminta keluarganya agar menghibahkany dirinya untuk rakyat. Seorang pemimpin sudah bukan hanya menjadi milik keluarganya, melainkan milik seluruh rakyat yang dinaunginya.
Terakhir, pintar dijadikan sebagai media untuk mengurai suatu permasalahan sekaligus potensi solusinya. Saya jadi teringat untaian mutiara dari Habib Ahmad bin Hasan Alattas yang mengatakan ‘Ilmu adalah alat, meskipun ilmu itu baik (hasan), tapi hanya alat bukan tujuan, oleh karenanya ilmu harus diiringi adab, akhlak, dan niat-niat yang sholeh.
Ilmu demikianlah yang dapat mengantarkan seseorang kepada maqam-maqam yang tinggi.’ Jadi, konsep bener dan pinter harus beriringan dan bersinergi agar tercapai suatu tujuan.
Sosok Pemimpin Bersahaja yang Terekam Sejarah
Mari kita ingat lagi, salah satu penyebab runtuhnya dinasti kerajaan Islam karena gaya hidup pemimpinnya yang jauh dari nilai kesederhanaan. Sedangkan para pemimpin yang hidup dengan kesederhanaan,8 mereka banyak menorehkan prestasi bahkan tinta keemasan.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dalam masa kepemimpinannya pada Dinasti Bany Umayyah, tidak bersikap aji mumpung. Umar bahkan enggan menggunakan fasilitas pemerintahan dalam kehidupan pribadinya.
Dirinya terkenal dengan sifat zuhudnya yang sangat barhati-hati terhadap amanat rakyat. Dalam suatu cerita yang banyak diriwayatkan oleh para ulama dalam kitab klasik tentang kezuhudan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada suatu malam, seorang kepercayaan Khalifah Umar bernama Abdullah berkunjung ke rumah Khalifah Umar.
Setelah menyambut kedatangan Abdullah, Khalifah Umar langsung menyalakan lilin yang terang kemudian menanyakan keadaan rakyat, apakah semuanya sudah mendapatkan hak atau bahkan ada yang terdholimi. Ini adalah bukti bahwa beliau sangat memperhatikan hak-hak setiap rakyatnya.
Keadaan berbalik, ketika Abdullah bergantian menanyakan kabar Khalifah Umar beserta keluarganya. Beliau langsung mematikan lilin yang terang dan menyalakan lilin pribadi yang cukup redup. Saking hati-hatinya, beliau tidak ingin menggunakan secuilpun harta rakyat untuk kepentingan dirinya maupun keluarganya.
Meskipun falsafah Jawa terdengar kuno, namun makna yang dikandungnya masih sangat relevan dan adaptif dengan perkembangan zaman. Kriteria bener, kober dan pinter mampu menjadi indikator dalam memilih pemimpin yang bersahaja.
Saya lihat, salah satu Pemimpin yang Memiliki Kepemimpinan yang Bersahaja adalah Bapak Nikson Nababan Ujar Kyai Khambali
Siapapun nanti pemimpin yang terpilih semoga nilai-nilai tersebut melekat dalam setiap jengkal langkah kepemimpinanya. Selain mengayomi, pemimpin adalah panutan bagi seluruh rakyat.
Jadi, kesederhanaan sangat dibutuhkan agar rakyat menaruh rasa percaya kepada pemimpinnya. Bukan curiga apalagi kebencian melainkan rasa hormat menghormati dan welas asih antara satu sama lain. Wallahu a’lam bis shawab.
*Penulis adalah Tokoh Agama dan Pengamat Kebijakan Publik